0
MEDAN | GLOBAL SUMUT-Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan, UU Pemda yang baru bakal menerapkan sanksi bagi Kepala Daerah yang membangkang peraturan, termasuk pemberhentian. Pemerintah meyakini hasil revisi Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih bergigi dibandingkan aturan sebelumnya. "Kami mengajukan pengaturan sanksi. Saat ini sedang dibahas Ditjen Otda dengan DPR RI," kata Gamawan seusai membuka Seminar Nasional Hari Otonomi Daerah XVIII di Jakarta, Kamis (24/4/2014). Ia menyebutkan, seringkali kepala daerah tidak mematuhi aturan yang dibuat Pemerintah diatasnya. Sebagai contoh Bupati/Walikota tidak mematuhi perintah Gubernur, dan Gubernur tidak mengindahkan instruksi pemerintah pusat. "Sementara belum ada aturan yang mengatur dalam UU 32 tersebut," ujarnya. Selama ini, mekanisme yang dilakukan untuk memberikan sanksi kepada Kepala Daerah melalui DPRD. Dari DPRD akan digodok, lalu kemudian diusulkan ke Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Tinggi di daerah tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak sejalan dengan semangat Desentralisasi di Indonesia. "Negara Kesatuan RI kita ini menjalankan sistem Desentralisasi. Kewenangan yang ada di Pusat diberikan kepada daerah, bukan dimiliki sepenuhnya sama Kepala Daerah. Ini bukan Negara penganut Liberalisme" paparnya. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, pemerintah menyiapkan tiga tahap dalam hal pemberian sanksi bagi Kepala Daerah yang membangkang. Tiga tahap ini diharapkan agar memberikan efek bagi Kepala Daerah agar tidak sewenang-wenang dengan Jabatannya. "Pertama, kepala daerah yang tidak mengikuti peraturan perundangan bisa diberi sanksi teguran oleh pejabat atasannya. Kedua, sanksi yang diberikan bisa berupa pemberhentian sementara. Ketiga, ini yang paling keras, adalah sanksi pemberhentian tetap kepada kepala daerah yang tidak menaati peraturan," jelasnya. Dalam pelaksanaannya, tambah Djohermansyah Djohan, pemerintah masih memberikan kesempatan perbaikan bagi kepala daerah yang tidak terima terhadap pemberian sanksi tersebut. Namun, sebelumnya ditelaah kembali permasalahan yang membuat kesempatan perbaikan tersebut. Dalam pengaturan sanksi di RUU tersebut, diharapkan ketidak patuhan Kepala daerah, khususnya di tingkat Kabupaten/Kota, dapat diminimalisir. "Meskipun dipilih langsung oleh masyarakat, bukan berarti Kepala Daerah tidak bisa dipecat." tegasnya. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Propinsi Sumatera Utara Organisasi Masyarakat Perkumpulan Kebangkitan Indonesia Baru (Ormas P-KIB) Misro,SE melalui Sekretaris DPW Ricky Faerdinal, SE mengutarakan hal tentang akan adanya pemberlakuan UU Pemda yang baru dari Kemendagri melalui Ditjend Otda mengatakan bahwa UU itu sebagai wujud pegangan saja bagi Pemerintah Pusat. "Saya setuju dengan adanya UU itu. Tapi UU itu kan hanya sebagai pegangan buat Pemerintah Pusat. Khususnya Kemendagri. Namun, tidak adanya UU tersebut pun, masyarakat sebenarnya bisa melakukan pelaporan sendiri. Bahkan pun bisa memecat sendiri. Kenapa bisa ? Coba kupas lagi UUD 1945 dan isinya. Jangankan Kepala Daerah, Kepala Negara pun bisa dipecat masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah Rakyat Indonesia. Ingat aja, Kedaulatan ditangan rakyat. Semua dipemerintahan, Aparatur hukum dan kelengkapannya semua. Apa bahasa mereka kalau bicara dihadapan masyarakat, Siap melayani. Jadi mereka yang dikursi pemerintahan itu pelayan rakyat. Maka bos nya Negara kan rakyat. Jadi Rakyat bisa memecat."Ucapnya sambil bercanda saat dikonfirmasi di Bandara Kualanamu diruang Kedatangan. (*Wing/MTN) Dikirim melalui BlackBerry® dari 3 – Jaringan GSM-Mu

Posting Komentar

Top