0
BELAWAN | GLOBAL SUMUT - Sejumlah kebijakan menteri kelautan perikanan Susi Pudjiastuti mulai menuai krtikan dari kalangan pengusaha perikanan maupun nelayan yang tergabung dalam HNSI karena dinilai merugikan kalangan pengusaha dan nelayan.

Keluhan masyarakat nelayan melalui HNSI Kota Medan diketuai Zulfahri Siagian didamping sekretarisnya Johari Ayat tersebut juga telah disampaikan pada Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba saat kunjungan kerjanya di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB) kemarin.

Menurut HNSI Kota Medan, adapun kebijakan yang meresahkan serta menyengsarakan nelayan serta para pengusaha perikanan tersebut yakni terkait dengan pelarangan Transhipment terhadap kapal ikan lokal sesuai aturan Permen KP 58 tahun 2014 pasal 2 a ayat 3.

Akibat kebijakan yang membingungkan itu para pelaku usaha perikanan merasa dirugikan sebab tak lagi diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO) maupun SIB dari Syahbandar Perikanan bagi kapal pengangkut ikan (Transhipment) di tengah laut.Imbas dari kebijakan tersebut kapal pengangkut ikan tak lagi bisa beroperasi menyebabkan mutu hasil perikanan tangkap tak bisa terjaga dengan baik hingga sebagian nelayan akan menganggur.

Selain itu, Penerapan VMS (Vessel Monitoring System) diatas kapal perikanan yang tidak ditagani dengan baik oleh profeder (pemilik peralatan) padahal pemilik kapal sudah membeli VHM Rp22 juta perunitnya plus membayar air timenya sebesar Rp6 juta pertahun, namun surat keterangan aktivasi dari profeder tak kunjung terbit sehingga kapal ikannya tak diperbolehkan berangkat.

Atau saat VMS dihidupkan diatas kapal akantetapi pihak pusat tidak bisa menangkap signal dari alat tersebut akantetapi malah kapal ikan yang disalahkan, hal ini sangat merugikan pihak pemilik kapal seharusnya profeder tersebut yang ditindak akibat menjual alat yang tak bisa dioperasikan.

Persoalan lainnya terkait banyaknya perizinan yang harus diurus kapal ikan diatas 10 GT (Gross Ton) dari berbagai instansi pemerintah hingga ada 13 surat yang membuat usaha perikanan semangkin sulit berkembang.

Selanjutnya masalah maraknya ikan impor yang seakan tak ada batasan pengeluaran kuota izin dan pemasaran yang langsung ke pasar lokal namun tak ada pengawasan yang jelas sesuai dengan permen KP No 15.

Lebih lanjut Zulfahri memaparkan, tidak selesainya masalah batas wilayah di Selat Malaka, dimana sebagian laut Indonesia masih di patroli Angkatan laut Malaysia (Greey Area) yang membuat kapal ikan Indonesia tidak bisa melakukan penangkapan di daerah Greey area tersebut.

Permen No 26 tahun 2013 tentang perubahan atas Permen KP No 30 tahun 2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara RI pasal 89 menyatakan, setiap orang yang memiliki kapal dengan jumlah 300 GT keatas wajib mendirikan perusahan berbadan hukum paling lama 1 tahun sejak Permen ini diundangkan.

Padahal usaha perikanan selama ini masih menganut prinsip "Tangkap Bagi Hasil" dengan nelayan dimana belanja dapur serta biaya operasional kapal selama ke laut ditanggung bersama oleh pemilik kapal kapal dan ABK sehingga apabila dibuat badan hukum (PT) maka saham yang ada harus di konversi kepada pihak lain, Nah, hal ini juga dinilai sangat memberatkan baik bagi kalangan pengusaha perikanan maupun
nelayan.(Red)

Posting Komentar

Top