0
JAKARTA | GLOBAL SUMUT-Sehubungan dengan hasil studi dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) FKMUI bahwa ada keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok, di mana sejumlah perokok akan berhenti merokok jika harga dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Dari studi yang dilakukan dalam kurun waktu Desember 2015 sampai Januari 2016 tersebut, 1.000 orang yang disurvey melalui telepon, sebanyak 72% akan berhenti merokok jika harga rokok di atas harga Rp50.000. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa strategi menaikkan harga dan cukai rokok terbukti efektif menurunkan jumlah perokok di beberapa negara.Senin (22/08).

Menanggapi hasil studi tersebut, pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif. Di samping mempertimbangkan faktor kesehatan masyarakat, pemerintah perlu memperhatikan aspek seluruh mata rantai industri tembakau nasional, mulai dari petani, pekerja di industri rokok, pedagang, dan konsumen. Demikian juga harus mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat, inflasi, dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.

Selama ini penentuan kebijakan harga dan tarif rokok selalu dibicarakan bersama Kementerian Lembaga dan Asosiasi serta pihak-pihak terkait dengan tujuan agar terjadi keseimbangan antara kepentingan kesehatan, industri, dan konsumen. Saat ini pemerintah (Kementerian Keuangan dan Kementerian terkait lainnya) bersama-sama dengan Asosiasi dan Lembaga terkait sedang mengkaji mengenai faktor-faktor di atas untuk menentukan kebijakan yang tepat berkaitan dengan harga dan tarif cukai rokok.

Dengan demikian menanggapi berita yang beredar mengenai kenaikan harga rokok di berbagai media massa, sosial media, pesan berantai, dan media lainnya, dapat kami sampaikan bahwa sampai dengan saat ini belum ada aturan terbaru mengenai Harga Jual Eceran (HJE) rokok.(rls)

Posting Komentar

Top